Duhai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku atas agama-Mu... tetapkan hatiku untuk taat kepada-Mu...tetapkan hatiku atas imanku kepada-Mu... Wahai Tuhan kami, jangan gelincirkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kepada kami dan berilah kami dari sisi-Mu rahmat. Sesungguhnya Engkaulahyang maha bijaksana.

Selasa, 04 Oktober 2011

Bom Bunuh Diri


Tinjauan Kritis Seputar Operasi "Bom Bunuh Diri"

 

 Mereka itu bila tergolong kaum muwahhidin dan berperang di jalan Allah serta di bawah panji Islamiyyah bukan fanatisme buta dan bukan kejahiliyyahan, maka mana mungkin kami menghukumi kebatilan amalan mereka atau menyamakan mereka dengan orang yang membunuh dirinya sendiri karena putus asa dari rahmat Allah atau karena keluh kesah dari luka dan yang lainnya kemudian kami mengatakan pengekalan mereka dalam neraka Jahannam atau pengharaman surga terhadap mereka…


Seputar Operasi Yang Disebut Operasi Bunuh Diri dan Sebagian Orang Menamakannya “Operasi Istisyhad”

Berkaitan dengan intihar (bunuh diri), maka hukumnya sudah tidak samar lagi terhadap seorangpun dalam syari’at ini dan bahwa ia tergolong dosa besar yang diancam (pelakunya) oleh Allah SWT dengan ancaman yang keras.

Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:

“Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung sehingga ia membunuh dirinya, maka ia di neraka Jahannam seraya menjatuhkan diri di dalamnya seraya kekal selamanya lagi abadi di dalamnya dan barang siapa meminum racun sehingga ia membunuh dirinya sendiri, maka racunnya di tangannya seraya meminumnya di neraka Jahannam kekal selamanya lagi abadi di dalamnya.”

Dan jama’ah mengeluarkan dari Tsabit Ibnu Ad-Dlahhak radliallahu’anhu., ia berkata:

“Rasulullah saw berkata: “Barang siapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia disiksa dengannya di hari kiamat”.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl Ibnu Sa’ad radliallahu’anhu. Bahwa Rasulullah saw bertempur melawan kaum musyrikin, kemudian tatkala Rasulullah saw kembali ke kampnya dan kaum musyrikin kembali ke kamp mereka, sedang di antara sahabat Rasulullah saw ada seorang laki-laki yang tidak membiarkan seseorang yang menyendiri dan memisahkan dari barisan (dari kalangan musyrikin) melainkan ia mengejarnya seraya menghajarnya dengan pedangnya, maka ia (Sahl) berkata: Pada hari ini tidak ada di antara kita orang yang lebih hebat dari si fulan”, Maka Rasulullah saw berkata:”Sesungguhnya dia itu termasuk ahli neraka”. Maka seseorang berkata: “Saya temannya”. Ia berkata: “Ia keluar bersamanya, setiap kali ia berhenti, maka ia berhenti bersamanya dan bila ia bergegas, maka ia bergegas bersamanya”. Ia berkata: “Kemudian ia terluka parah, sedangkan ia tidak sabar, maka ia meletakkan pedangnya di tanah lalu ia menepatkannya pada ulu hatinya kemudia ia menjatuhkan dirinya di atas pedangnya sehingga ia membunuh dirinya sendiri”.

Dalam hadits tersebut (dikisahkan) bahwa Rasulullah saw tatkala mendapatkan kabar tentang dia, beliau bersabda:

“Sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli surga dalam apa yang nampak di hadapan manusia, sedangkan ia termasuk ahli neraka dan sesungguhnya seseorang melakukan amalan ahli neraka dalam apa yang nampak di hadapan manusia sedangkan ia termasuk ahli surga”.

Dalam Ash-Shahihain secara marfu’ juga:

“Adalah di tengah orang-orang sebelum kalian ada seorang laki-laki yang mendapatkan luka dan ia berkeluh-kesah, kemudian ia mengambil sebilah pisau dan terus ia memotong dengannya (urat nadi) tangannya, maka darah pun keluar tanpa berhenti sampai ia mati, Allah ta’ala berfirman: “Hamba-Ku mendahului-Ku dengan dirinya, maka Aku haramkan surga atasnya”

Dan sangat banyak hadits yang semakna dengan ini.

Di dalam hadits-hadits tersebut terdapat ancaman yang besar bagi orang yang membunuh dirinya sendiri dan bahwa itu termasuk hal yang diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Dhahir sebagian hadits adalah bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri itu kekal selamanya di dalam neraka Jahannam dan sebagian hadits tegas tentang pengharaman surga, namun sudah maklum bahwa Ahlus Sunnah telah membatasi lontaran-lontaran ini pada hak kaum muwahhidin dengan panduan firman Allah ta’ala:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (An-Nisaa:48)

Dan dengan apa yang diriwayatkan Muslim dari Jabir dalam hadits Ath-Thufail Ibnu ‘Amr Ad-Dausiy dan kawannya yang memotong persendiannya sehingga ia mati, maka Allah mengampuninya dengan sebab hijrahnya…” Hadits ini akan datang (pembahasannya, ed.).

Sedangkan lafazh…”di neraka Jahannam seraya kekal selamanya lagi abadi di dalamnya” dalam hadits pertama dan sabdanya “maka Aku haramkan surga atasnya” dalam hadits yang lain adalah bahwa hal itu bagi orang yang menghalalkan hal itu atau bagi orang yang melakukannya karena putus asa dari rahmat Allah dan penentangan terhadap ketentuan Allah ta’ala, maka itu adalah kekafiran yang mengekalkan pelakunya di dalam neraka Jahannam.

“Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Yusuf:87)
Darinya nampak bahwa ada perbedaan yang harus diperhatikan oleh orang yang menimbang dengan al-haq dan meninggalkan sikap curang, antara orang yang membunuh dirinya karena putus asa dari Rahmat Allah atau karena penentangan terhadap ketentuan Allah atau karena keluh-kesah dari luka, penyakit dan yang lainnya dengan orang-orang yang menjadi pertanyaan yang meledakkan dirinya sendiri dengan bahan-bahan peledak untuk memberikan pukulan besar pada musuh-musuh Allah
Ini adalah perbedaan yang nampak jelas bagi kami, kami mengetahui dan memperhatikannya.

Mereka itu bila tergolong kaum muwahhidin dan berperang di jalan Allah serta di bawah panji Islamiyyah bukan fanatisme buta dan bukan kejahiliyyahan, maka mana mungkin kami menghukumi kebatilan amalan mereka atau menyamakan mereka dengan orang yang membunuh dirinya sendiri karena putus asa dari rahmat Allah atau karena keluh kesah dari luka dan yang lainnya kemudian kami mengatakan pengekalan mereka dalam neraka Jahannam atau pengharaman surga terhadap mereka[1],
karena sesungguhnya rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertauhid adalah luas, sedangkan Allah SWT itu adalah Hakim Yang Paling Adil. Dia tidak menyia-nyiakan amalan orang-orang yang berbuat baik dan Dia tidak mengurangi amalan shalih yang tulus dari orang-orang yang beriman.

Imam Thufail ibnu ‘Amr Ad-Dausiy hijrah kepada Rasulullah saw ke Madinah dan bersamanya ada seorang laki-laki dari kaumnya, kemudian mereka tidak cocok dengan kondisi Madinah sehingga ia sakit dan ia berkeluh-kesah, kemudian ia mengambil pisaunya dan memotong persendiannya sehingga kedua tangannya mengalami pendarahan sampai akhirnya ia mati.

Maka Thufail ibnu ‘Amr melihat dia dalam mimpinya. Ia melihatnya dengan penampilan yang bagus dan ia melihatnya menutupi kedua tangannya, maka ia berkata kepadanya,

“Apa yang dilakukan Tuhanmu kepadamu ?” Maka dia berkata: “Dia telah mengampuni saya dengan sebab saya hijrah kepada Nabi-Nya saw”, ia (Thufail) berkata: “Kenapa saya melihatmu menutupi kedua tanganmu ?” , maka ia berkata: “Dikatakan kepada saya, Kami tidak akan memperbaiki darimu apa yang telah kamu rusak”, Maka Ath-Thufail menceritakannya kepada Rasulullah saw, maka beliau saw berkata: “Ya Allah, ampunilah bagi kedua tangannya”.

An-Nawawiy berkata: “Di dalam hadits ini ada hujjah bagi kaidah agung Ahlus Sunnah yaitu bahwa orang yang bunuh diri atau melakukan maksiat dan ia mati tanpa taubat, maka ia tidak kafir dan tidak boleh dipastikan masuk neraka, akan tetapi ia dalam status masyi-ah (kehendak Allah)”

Abu Muhammad –semoga Allah memaafkannya- berkata: “Tidak ada yang dirasa sulit dalam hal ini, bersama keberadaan ancaman yang dahsyat yang dating dalam hadits-hadits yang lalu, karena Allah swt berhak mengampuni hamba-hambaNya yang bertauhid, yang berbuat baik dan Dia berhak untuk tidak merealisasikan ancaman-Nya pada diri mereka dan ini termasuk kemuliaan, kebaikan dan keterpujian-Nya swt, namun Dia tidak akan menyelisihi janji-Nya bagi mereka, sedangkan sudah maklum perbedaan antara penyelisihan janji dengan penyelisihan ancaman…

Tapi kami katakan: “Sesungguhnya keberadaan para pelaku ‘amaliyyat (oprasi-oprasi) ini tidak seperti orang-orang yang bunuh diri karena putus asa dari kehidupan atau karena penentangan terhadap taqdir dan keluh-kesah terhadap luka, maka ini saja tidak cukup untuk melegalkan ‘amaliyyat ini dengan gambaran ini atau untuk memberikannya sisi pensyari’atan, karena ‘amaliyyat ini bila keluar dari keumuman nash-nash yang mencela lagi mengancam orang yang membunuh dirinya dengan ancaman yang dahsyat dan di antaranya adalah hadits yang telah lalu

“Barangsiapa membunuh dirinya dengan sesuatu, maka dia disiksa dengannya di hari kiamat”.

Hadits ini dan yang serupa dengannya yang telah lalu adalah seperti firman Allah ta’ala:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak memasukannya ke dalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (An-Nisaa: 29-30)

Ibnu Katsir rh berkata: “Yaitu barang siapa melanggar apa yang telah Allah larang seraya aniaya di dalamnya lagi zhalim dalam pelanggarannya yaitu ia mengetahui pengharamannya lagi berani lancang terhadap pelanggarannya “Maka Kami kelak akan memasukannya ke dalam neraka”, ini adalah ancaman yang keras lagi pedas, maka hendaklah bersikap hati-hati setiap orang yang berakal lagi memiliki pikiran yaitu orang yang menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikannya”” (Selesai perkataan Al-Maqdisiy)

Dan keumuman firman Allah ta’ala “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu sebab yang benar” (Al An’am: 151), dalam dua tempat dari Kitabullah.

Begitu juga keumuman hadits-hadits yang melarang dari membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sesuatu sebab yang benar, seperti hadits

“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Dikatakan: “Wahai Rasulullah, apakah itu ?” Beliau bersabda: “Penyekutuan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya), melainkan dengan suatu sebab yang benar….dst sampai akhir hadits”.[2]

Serupa dengannya hadits Nabi saw pada haji wada’: “Ketahuilah bahwa darah kalian dan harta kalian adalah haram atas kalian seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini…Ketahuilah, apakah saya sudah menyampaikan…Ya Allah, saksikanlah…”

Abu Muhammad Al-Maqdisiy –semoga Allah memaafkannya- berkata:

“Ini dan yang lainnya adalah nash-nash yang umum, yang qath’iy dilalah-nya dalam pengharaman membunuh jiwa yang ma’shum dan tidak halal atau tidak boleh sama sekali mengecualikan darinya, kecuali apa yang dikecualikan oleh syari’at.

Dan orang-orang yang ingin meledakkan dirinya dalam ‘amaliyyat seperti ini dituntut untuk mengkaji nash-nash seperti ini dan mencermatinya secara seksama sebelum memfatwakannya atau melakukannya, karena bagi kaum muslimin tujuan itu tidak melegalkan segala macam cara, kita ini bukan Mikafiliyyin dan cara itu harus sesuatu yang syar’iy sebagaimana tujuan dan hendaklah mereka mengetahui bahwa kebenaran itu bukan bersama pendapat yang paling keras namun bersama pendapat yang paling tepat yang selaras dengan dalil, serta hendaklah mereka ingat bahwa orang itu tidak memiliki tujuh nyawa yang bisa ia gunakan untuk percobaan di sana sini, namun ia hanya satu nyawa, maka hendaklah ia berupaya keras untuk mengorbankannya dalam ketaatan kepada Allah dan keridlaan-Nya di atas bashirah dari urusannya.[3]

Sangat disayangkan, sesungguhnya saya belum melihat dirasat (kajian-kajian) ‘ilmiyyah yang peka lagi terarah milik orang-orang yang bertanggung jawab terhadap ‘amaliyyat semacam ini. Umumnya mereka didorong oleh perasaan emosional dan hamasah (semangat) tanpa memperhatikan dalil syar’i, berbeda halnya dengan saudara-saudara kita di Mesir dan Al-Jazair di mana mereka itu dalam masalah ini memiliki fatwa-fatwa dan banyak kajian, oleh sebab itu jarang sekali engkau mendapatkan ‘amaliyyat semacam ini pada mereka, padahal sesungguhnya mereka itu diintimidasi oleh musuh-musuh Allah melebihi penindasan yang didapatkan oleh para pengusung ‘amaliyyat ini, karena sesungguhnya ilmu modern dan sarana-sarananya telah memberikan kepada mereka banyak faidah yang dengannya mereka menjaga ikhwan mereka yang bertauhid dan membantu mereka untuk pencapaian mashlahat terbesar dengan cara yang paling efektif, di mana di sana ada banyak timer, jebakan, sumbu penyulut, ranjau, penekan pengendali, arus listrik, pena timer, remote control, pantulan cahaya dan yang lainnya yang bisa digunakan oleh para pengusung ‘amaliyyat semacam ini.

Hal-hal ini menjadikan mufti yang mengetahui bahayanya fatwa dan bahwa ia adalah tanda tangan atas nama Allah, diam lama sekali sebelum mengatakan kebolehan ‘amaliyyat itu yang mana orang muslim membunuh dirinya sendiri di dalamnya tanpa dlarurat yang sebenarnya, karena sarana ini memperluas wawasan amal pada mujahidin.

Selagi di sana ada cara untuk menjaga dan melindungi darah para muwahhidin, maka cara itu wajib diambil. Ikhwan kita -mujahidin- di berbagai belahan bumi memiliki bashirah, (mereka) mengikatkan barang-barang, surat-surat dan tas serta mereka meledakkan banyak kendaraan dan yang lainnya dengan sesuatu dari cara-cara ini dan mereka memberikan pukulan kepada musuh-musuh Allah dengan pukulan yang sangat dahsyat dengan kerugian yang paling minimal di barisan muwahhidin dan syahadah itu bukan kerugian, namun kerugian itu adalah ada pada penyelisihan terhadap hukum syar’i dan mati di luar bashirah…

Kami selalu mengatakan: Sesungguhnya saudara muwahhid yang sampai dalam tarbiyyah dan i’dad pada fase-fase yang lalu, ia pada hakikatnya adalah berlian satu-satunya di zaman ini yang tidak seyogyanya bagi pimpinannya bila dia itu berakal mengorbankannya demi dua atau tiga sepatu (maksudnya dua atau tiga orang anshar thaghut, pent.) atau yang lainnya dari aparat syirik dan bala tentara mereka, yang padahal mungkin menghabisi mereka dengan selain cara ini, di mana mungkin membunuhnya dengan senjata laras panjang, pistol dan bom atau mobil yang sudah diisi muatan bahan peledak tanpa perlu membunuh dirinya, maka dalil syar’iy mana yang membolehkan membunuh diri karenanya ??

Sebagian orang-orang yang tergesa-gesa yang tidak mengetahui cara-cara istidlal (pengutaraan dalil) dan tidak memiliki alat-alatnya, mereka berdalil dengan dalil-dalil yang tidak bisa digunakan untuk hujjah dalam bab ini, di mana mereka menuturkan firman Allah ta’ala dalam memuji orang-orang mu’min:
“Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh” (At-Taubah:111),

dan menuturkan seorang laki-laki yang secara sendirian menyerang pasukan besar dan kisah seorang sahabat yang meminta dari para sahabatnya agar mengangkatnya di atas perisai terus melemparkannya ke dalam benteng orang-orang kafir untuk membukakan pintunya bagi mereka dan hadits Aslam ibnu ‘Imran, berkata:

Seorang laki-laki dari muhajirin menyerang barisan musuh di Konstantinopel sampai ia mencerai-beraikannya sedangkan bersama kami ada Abu Ayyub Al-Anshari, maka orang-orang berkata:

“Dia menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan” seraya mereka memaksudkan firman-Nya ta’ala:

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al-Baqarah: 195)

Maka Abu Ayyub berkata:

“Kalian mentakwilkan ayat ini seperti ini, yaitu seseorang menyerang seraya mencari syahadah atau ia menemui kematian!! Kami paling mengetahui akan ayat ini, ia itu hanyalah diturunkan perihal kami”, maka beliau menuturkan bahwa yang dimaksudkan dengan kebinasaan adalah menetap di tengah keluarga dan harta dan meninggalkan jihad. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan yang lainnya)

Seperti itu pula adalah apa yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Ishhaq As-Suba’iy. Seorang laki-laki berkata kepada Al-Bara Ibnu ‘Azib:

“Bila saya menyerang secara sendirian terhadap musuh terus mereka membunuh saya, apakah saya menjatuhkan diri saya ke dalam kebinasaan?”

Maka beliau berkata kepadanya:

“Allah berfirman kepada Rasul-Nya “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri” (An-Nisaa:84)

Sesungguhnya ayat tadi hanyalah berkaitan dengan nafaqah dan dalam riwayat At-Tirmidzi:

(Tapi kebinasaan itu adalah seseorang melakukan dosa terus ia menjatuhkan dirinya sendiri kepada kebinasaan kemudian ia tidak taubat).

Sebagaimana mereka menuturkan dalam dalil-dalil mereka, hadits: (Penghulu para syuhada adalah Hamzah dan laki-laki yang mendatangi pemimpin yang aniaya, terus dia memerintah dan melarangnya kemudian dia (si penguasa) membunuhnya).

Ini adalah apa yang mereka jadikan sebagai dalil, sedangkan semuanya tidak layak untuk dijadikan hujjah dalam masalah yang sedang diperdebatkan ini.

Firman-Nya ta’ala: “Mereka membunuh atau terbunuh”, maka orang-orang itu bahagia dengan firman-Nya “atau terbunuh”, padahal sesungguhnya ayat ini tidak menunjukan secara tegas terhadap sikap membunuh dirinya sendiri, akan tetapi terhadap sikap musuh Allah membunuh dia, dan andaikata ia menunjukan, maka sesungguhnya ia adalah penunjukan yang lemah, dhanniy lagi memiliki banyak kemungkinan dan tentunya mereka itu lebih utama untuk berhujjah dengan firman-Nya “Mereka membunuh” terus mereka mengatakan:

Ia adalah umum mencakup sikap mereka membunuh orang lain dan membunuh diri mereka sendiri. Cara istidlal ini adalah modal orang-orang yang pailit, di mana mereka itu tatkala tak bisa menghadirkan dalil-dali qath’iy yang tegas, maka mereka justeru malah menggunakan dalil-dalil yang lemah dilalah-nya.

Andaikata kami menerima dalil-dalil itu, maka itu adalah nash yang tidak sharih (tegas) dan justeru ia dibatasi dengan nash-nash qath’iy yang sharih dilalah-nya yang telah lalu dalam hal pengharaman membunuh jiwa, sedangkan nash yang tidak sharih lagi dhanniy dilalahnya tersebut tidak boleh dibenturkan pada nash-nash yang qath’iy lagi sharih sebagaimana juga bahwa dalil itu bila mengandung banyak kemungkinan, maka ia tidak bisa dijadikan sebagai dalil, karena pemastian dengan sesuatu yang banyak mengandung kemungkinan itu membutuhkan dalil.

Bagaimanapun keadaannya, maka sesuai penafsiran mereka, dalil itu tergolong dalil yang mutasyabih, sehingga wajib dikembalikan kepada nash-nash yang muhkam dan jelas yang mengharamkan pembunuhan jiwa….Wallahu A’lam.

Adapun kisah seorang sahabat yang dilemparkan ke dalam benteng, maka orang yang berhujjah dengan kisah itu pertama-tama wajib membuktikannya terlebih dahulu, yaitu buktikan dulu keshahihan dalil itu kemudian silahkan berdalil dengannya, sedangkan tidak sah berdalil dengan sesuatu sebelum membuktikan keshahihannya.[4]

Kemudian bila mereka telah membuktikannya dengan isnad yang shahih, maka kami katakan kepada mereka:

“Itu adalah perbuatan serang sahabat, sedangkan sudah ma’lum bahwa perbuatan seorang sahabat itu bukanlah hujjaj dalam perselisihan, karena Allah SWT berfirman:

“Kemudian bila kamu berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul(-Nya)” (An-Nisaa: 59) Dia tidak mengatakan “Maka kembalikanlah kepada sahabat”, sedangkan menjadikan perbuatan mereka sebagai pendekatan adalah suatu hal dan berdalil dengannya dalam perselisihan serta menjadikannya sebagai hujjah syar’iyyah adalah hal lain, maka bagaimana bila perbuatan-perbuatan itu menentang nash-nash yang sharih lagi qath’iy keterbuktiannnya juga qath’iy dilalah-nya seperti nash-nash yang lalu prihal pelarangan membunuh jiwa (sendiri)”.

Ini atas dasar pengandaian bahwa perbuatannya itu adalah bunuh diri, sedangkan kami tidak menerima hal itu.

Bila mereka berkata: Sesungguhnya ia adalah ijma sukutiy itu adalah hujjah yang lemah lagi dhanniy, di dalamnya terdapat perselisihan yang besar, maka bagaimana bila ijma yang diklaim ini menentang nash-nash qath’iy lagi shahih. Kemudian ijma ini menurut orang-orang yang memegangnya harus memiliki sandaran syar’iy, yaitu hujjah bukan yang lainnya. Sandaran yang sharih lagi shahih ini adalah dalil yang masih kami menuntut kalian untuk mendatangkannya dan kalian membutuhkannya.
Terakhir, kemudian dikatakan kepada mereka bahwa kisah yang dijadikan hujjah oleh kalian ini menjelaskan bahwa shahabiy ini tidak bermaksud membunuh dirinya sendiri dengan perbuatannya itu, akan tetapi bermaksud membuka benteng bagi kaum muslimin[5].

Sedangkan klaim mereka bahwa kemungkinan kematiannya adalah besar sekali, maka ini bukan sumber perselisihan, karena dalil-dalil terhadap kebolehan terjun maju dalam peperangan yang memiliki dugaan kuat mendapatkan syahadah di dalamnya adalah banyak, seperti hadits Abu Ayyub dan hadits Al-Bara yang telah lalu. Namun yang menjadi perselisihan adalah perihal seseorang membunuh dirinya sendiri secara sengaja dan dimaksud.

Adapun hadits Abu Ayyub dan Al-Bara, maka keduanya sebagaimana yang telah kami katakan hanyalah pantas dijadikan dalil untuk dorongan terhadap jihad, maju pantang mundur dan anjuran gesit dalam memerangi orang-orang kafir, serta penampakan keberanian, kekuatan dan pukulan di hadapan mereka. Dan dalam hadits itu sama sekali tidak ada sesuatupun yang menunjukan kebolehan seorang muslim membunuh dirinya sendiri dengan tangannya sendiri.

Karena kandungan yang ada dalam hadits itu adalah bahwa dia maju, tampil atau menghadangkan dirinya untuk memerangi suatu pasukan dan untuk mengingkari kemungkaran yang sangat besar sebagaimana dalam hadits “Penghulu Para Syuhada…” di mana kuat dugaannya bahwa ia dibunuh di dalamnya tanpa pemastian dan hatta andaikata ia itu memastikan, maka gambaran ini berbeda dengan gambaran itu, sedangkan mencampuradukkan antara kedua gambaran ini adalah sikap melampaui ketentuan Allah dan pengkaburan al-haq dengan al-bathil, padahal Allah ta’ala telah berfirman:

“Dan janganlah kamu mencampuradukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu menyembunyikan yang haq sedangkan kamu mengetahui” (Al-Baqarah: 42).

Di mana nash-nash yang lalu adalah sharih lagi qath’iy prihal pengharaman membunuh jiwa, sedangkan hal ini adalah yaqin, tidak bisa lenyap dengan dilalah yang lemah lagi jauh semacam ini, oleh sebab itu sesungguhnya orang yang mencermati ucapan ulama dalam bab-bab semacam ini, ia akan mendapatkan mereka itu bersikap ketat lagi hati-hati dalam masalah-masalah ini dan mereka tidak memfatwakan sekedar mengikuti semangat atau rasa takut dari lisan orang-orang yang menyelisihi dan orang-orang yang hobi menebar isu, akan tetapi mereka memfatwakan dengan apa yang mereka yakini seraya selaras dengan dalil syar’iy “(Yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah” (Al-Ahzab: 39). Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy berkata dalam Al-Mughniy 8/478, Kitab Al-Jihad.

(Pasal) Bila orang-orang kafir melemparkan api ke kapal yang terdapat kaum muslimin di dalamnya, sehingga api berkobar di dalamnya, maka apa yang menjadi dugaan kuat mereka akan selamat, baik itu mereka tetap di dalam kapal atau mereka menceburkan diri ke air, maka lebih utama bagi mereka adalah melakukannya.

Abul Khaththab berkata dalam riwayat lain: “Bahwa mereka harus diam di kapal, karena bila mereka menceburkan dirinya ke air, maka kematian mereka itu adalah (karena) perbuatan mereka sendiri[6], dan bila mereka diam di kapal, maka kematian mereka itu adalah perbuatan orang lain”. Selesai.
Perhatikan sikap mereka membedakan antara kematian oleh perbuatan diri sendiri dengan kematian oleh perbuatan orang lain. Ketahuilah bahwa masalah yang paling serupa dengan masalah kita ini menurut para ulama adalah masalah yang biasa dijadikan contoh oleh ulama ushul dalam bab-bab Mashlahat Mursalah, yaitu masalah yang terkenal dengan sebutan Masalah Tatarrus. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy 8/450: Bila orang-orang kafir membentengi diri dengan orang muslim[7] sedangkan tidak ada keperluan untuk menembak mereka dikarenakan peperangan tidak sedang berlangsung atau dikarenakan ada kemungkinan menguasai mereka tanpa hal itu atau karena aman dari kejahatan mereka, maka tidak boleh menembak orang muslim itu.

Al-Auza’iy dan Al-Laits berkata: Tidak boleh menembak orang-orang kafir itu berdasarkan firman Allah ta’ala:

“Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mu’min dan perempuan-perempuan yang mu’min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka)” (Al-Fath: 25).

Al-Laits berkata: Meninggalkan membuka benteng yang mampu untuk membukanya adalah lebih utama daripada membunuh orang muslim tanpa hak.

Dan sering sekali para fuqaha menuturkan dalam bab-bab Mashlahat Mursalah, ucapan mereka: Seandainya orang-orang kafir membentengi diri dengan sejumlah kaum muslimin, di mana seandainya kita menahan diri dari mereka tentulah orang-orang kafir itu menguasai Darul Islam dan menghabisi seluruh kaum muslimin serta membunuh (orang-orang yang dijadikan) benteng itu dan seandainya kita menembak benteng itu dan kita membunuh mereka tentulah mafsadah tersebut terhindarkan secara pasti dari seluruh kaum muslimin, namun mesti darinya membunuh orang muslim yang tidak berdosa…)

Maka mashlahat ini meskipun dlaruriyyah kuliyyah qath’iyyah (mesti lagi menyeluruh lagi pasti), akan tetapi dikarenakan ketidaknampakan pengakuan terhadap penganggapannya dari Sang Pembuat syari’at, maka di dalamnya terdapat perselisihan yang masyhur di antara para ulama….

Sekelompok ulama melarang hal itu, karena di dalamnya ada pembunuhan orang muslim, sedangkan tidak boleh menebus jiwa yang ma’shum dengan jiwa yang serupa dengannya…

Sekelompok ulama membolehkan hal itu dengan beberapa syarat yang di antaranya:

· Dalam sikap meninggalkan pembunuhan perisai itu terdapat pengguguran akan jihad…
Sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy 8/450 dari Al-Qadli dan Asy-Syafi’iy ucapan mereka: Boleh menembak mereka bila peperangan sedang berlangsung, karena membiarkannya menyebabkan pada pengguguran jihad. Selesai.

· Di antaranya adalah tidak mungkin mencapai orang-orang kafir itu, kecuali dengan membunuh perisai tersebut.

· Sikap membiarkan perisai ini menyebabkan pemusnahan seluruh kaum muslimin, pengotoran kehormatan mereka dan pendudukan negeri itu kemudian setelah itu pembunuhan perisai juga…
Saya bertanya dengan Nama Allah kepadamu, wahai orang yang obyektif, siapa saja engkau ini, apakah syarat-syarat seperti ini terpenuhi pada realita ‘amaliyyat tersebut pada hari ini…?!
Apakah tidak mungkin memerangi orang-orang kafir, kecuali dengan cara operasi-operasi peledakan diri sendiri…?

Apakah tidak mungkin hal itu dilakukan dengan selain cara ini ? Apakah dalam sikap meninggalkan cara ini menyebabkan pemusnahan seluruh kaum muslimin dan pengguguran jihad, di mana tidak mungkin memerangi orang-orang kafir dan membungkam mereka, kecuali lewat cara membunuh jiwa yang ma’shum ?

Bila keadaannya seperti itu, maka kami tidak mengingkarinya, yaitu bila mashlahat yang diharapkan di balik operasi-operasi ini atau mafsadah yang dimaksudkan penghindarannya itu adalah dlaruriyyah kulliyyah qath’iyyah yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara ini, maka kami tidak mengingkarinya dan orang yang berpendapat ini memiliki pendahulu dari kalangan ulama serta telah baku di kalangan para ulama yaitu bila dua mafsadah saling berbenturan, maka dipikullah yang paling ringan di antara keduanya demi menghindari yang paling besar.

Di samping itu sesungguhnya orang yang melihat realita banyak dari sasaran operasi-operasi ini –dan saya tidak mengatakan seluruhnya-, maka sesungguhnya dia mendapatkan mereka itu dari kalangan sipil, baik itu wanita, anak-anak atau lansia dan yang lainnya, sedangkan ini adalah hal lain yang disayangkan mesti disebutkan di sini.

Sedangkan sudah ma’lum bahwa dalam agama kita tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita yang tidak ikut berperang serta yang semisal dengan sengaja.

Para ulama yang di antaranya Hibrul Qur’an Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu. Telah menafsirkan firman Allah ta’ala: “Dan janganlah kamu melampaui batas” (Al-Baqarah: 190), dengan ucapannya: Janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak dan kakek lanjut usia…Dan Muslim meriwayatkan dalam ahlil harbi> dari Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu. Juga ucapannya: “Dan sesungguhnya Rasulullah saw tidak pernah membunuh anak-anak, maka janganlah kamu membunuh anak-anak, kecuali bila kamu mengetahui apa yang diketahui Al-Khidlr (Khidir) dari anak-anak kecil yang ia bunuh…”[8]

Al-Imam Ahmad, Al-Hakim, Al-Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkan dari Al-Aswad Ibnu Sari’ bahwa Rasulullah saw berkata: “Kenapa orang-orang melampaui batas pembunuhan sampai mereka membunuh anak-anak…Ingat jangan kalian membunuh anak-anak…Ingat jangan kalian membunuh anak-anak…”

Dalil-dalil dalam bab ini adalah sangat masyhur, bahkan Malik dan Al-Auza’iy memfatwakan dengan sesuatu yang lebih dari hal itu, di mana mereka berkata: “Tidak boleh membunuh wanita dan anak-anak sama sekali, hatta termasuk andaikata ahlul harbi memperisaii diri dengan wanita dan anak-anak atau mereka membentengi diri dengan benteng atau kapal (perahu) dan mereka menyertakan wanita dan anak-anak bersama mereka, maka tidak boleh menembak dan membakar mereka..”[9]

Ini serupa dengan masalah Tatarrus, bahkan lebih rendah darinya, karena ‘ishmah darah anak-anak dan wanita orang-orang kafir tidak ragu lagi adalah lebih rendah dari ‘ishmah darah kaum muslimin. Sudah ma’lum bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu boleh membunuh wanita dan anak-anak mereka, umpamanya pada serangan malam atau orang-orang kafir ditembaki sedangkan bersama mereka ada anak-anak dan wanita mereka sehingga mereka mati tanpa dimaksud, maka ini seperti tabyit (serangan malam) yang ditanyakan kepada Rasulullah saw, yaitu di mana Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dalam Kitabul Jihad (Bab Penduduk suatu negeri diserang pada malam hari, sehingga jatuh korban dari kalangan wanita dan anak-anak) dan di dalamnya beliau menuturkan hadits Ash Sha’b Ibnu Jatstsamah dan saya mendengar beliau bersabda: “Tidak ada batasan kecuali milik Allah dan milik Rasul-Nya saw”.

Begitu juga bila si wanita atau anak kecil itu ikut berperang atau membantu peperangan, sebagaimana hal itu sudah ma’lum pada tempatnya dalam Kitab-kitab Jihad dan Peperangan dan hadits-hadits di dalamnya sangat banyak.

Bahkan ulama membolehkan membunuh wanita bila ia berada di barisan orang-orang kafir dan ia menghina kaum muslimin

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughniy 8/450: (Pasal) Dan andaikata wanita berdiri di barisan orang-orang kafir atau di atas tembok (benteng, ed) mereka, lalu menghina kaum muslimin atau dia membuka auratnya di hadapan mereka, maka boleh sengaja menembaknya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Sa’id: “Telah mengabarkan kepada kami Hammad ibnu Zaid dari Ayyub dari Ikrimah[10], ia berkata: “Tatkala Rasulullah saw mengepung penduduk Tha’if, maka seorang wanita naik benteng lalu membuka kemaluannya, maka beliau bersabda: ”Ini sasaran, tembak dia !!”, maka seorang laki-laki dari kaum muslimin menembaknya dan tidak meleset sedikitpun darinya”. Boleh pula menembak wanita bila ia memungutkan anak panah bagi mereka atau memberikan minuman bagi mereka atau menyemangati mereka terhadap peperangan, karena dia berstatus sama dengan muqatil[11]. Hukum ini berlaku juga pada anak-anak kecil, orang tua serta yang lainnya yang dilarang dibunuh di antara mereka… (Selesai)

Adapun menyengaja pada kerumunan anak-anak dan wanita yang tidak muqatil, seperti sekolah, Taman Kanak-Kanak, Rumah Sakit dan yang serupa itu lalu ia dipilih (sebagai target serangan, ed), karena ia adalah target yang mudah, maka sikap ini menyelisihi tuntunan Nabi saw dan sikap ini mengandung bahaya pada da’wah serta pencorengan pada wajah jihad Islamiy yang bercahaya.

Bagaimanapun keadaannya, sungguh pembicaraan dalam bab ini sangatlah panjang dan para ulama kita telah mencukupinya dalam hal ini pada kitab-kitab fiqh dan hadits, juga sangat mudah dirujuk oleh pencari al-haq di sumbernya.

Sebelum kami menutup masalah ini, maka kami mengumpulkan apa yang telah kami katakan pada point-point ini:

· Kami tidak mengatakan hapusnya amalan para pelaku operasi-operasi yang ditanyakan ini (pelaku operasi bunuh diri,ed.) atau kekekalan mereka di neraka, bahkan kami telah membedakan orang yang membunuh dirinya sendiri karena putus asa dari kehidupan atau berkeluh-kesah dan penentangan terhadap taqdir Allah atau keluhan karena luka…[12]

· Akan tetapi kami memiliki terhadapnya catatan-catatan dan kritikan-kritikan yang telah kami isyaratkan pada sebagiannya, oleh sebab itu kami mengajak para pemerannya dan orang-orang yang memperhatikannya untuk mengkajinya dengan kajian syar’iy yang menyeluruh lagi peka, yang dikuatkan dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih.

· Adapun bila mafsadah yang ingin dihindarkan dengan ‘amaliyyah ini adalah qath’iyyah kulliyyah haqiqiyyah serta tidak mungkin dihadang kecuali dengan membunuh diri sendiri dengan cara ini, maka ini memiliki sesuatu yang mendukungnya dari ushul syari’at dan ini telah dianut oleh segolongan ulama mu’tabar dengan batasan-batasan syar’iy

· Kami mengajak para mujahidin untuk memanfaatkan sarana-sarana ilmu (teknologi, ed.) modern dalam memerangi musuh-musuh Allah, sebagaimana pelaksanaan firman Allah ta’ala: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kalian mampu berupa kekuatan dan kuda-kuda yang ditambatkan, yang dengannya kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian” dan itu untuk mendatangkan pukulan telak terhadap mereka dengan kerugian yang paling minimal di barisan muwahhidin, terutama kerugian-kerugian yang terjadi karena tangan mujahidin sendiri.

· Kami mengajak mereka untuk memfokuskan terhadap sasaran-sasaran militer musuh-musuh Allah, Dinas Keamanannya dan yang serupa itu.

Ini adalah kesimpulan pendapat kami pada masalah ini dalam kesempatan ini. Kami mengatakannya dan kami tidak peduli dengan sikap sentiment orang-orang yang menyelisihi kami, karena penuntun dan acuan kami hanyalah dalil bukan yang lainnya, serta tujuan kami adalah ridla Allah bukan ridla manusia. Kami memohon Allah ta’ala agar menjadikan kami bagian dari orang-orang yang disifati oleh Rasulullah saw dengan sabdanya: “Mereka tidak terusik oleh orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula oleh orang yang menggembosi mereka sampai datang ketentuan Allah”.
Sudah ma’lum bahwa bila datang kepada kami orang-orang yang menyelisihi dalam bab ini dengan dalil-dalil syar’iy yang shahih yang menggugurkan apa yang telah kami jelaskan, maka kami akan menerimanya dengan penuh lapang dada dan kami akan meninggalkan apa yang telah kami katakan, karena al-haq adalah lebih berhak untuk diikuti.

Allah-lah yang Mengatakan kebenaran dan Memberikan petunjuk kepada jalan yang lurus.
Lampran Susulan

Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu- bahwa tatkala saya telah menulis jawaban saya dalam masalah ini dan dibaca oleh sebagian kawan di penjara, maka datang kepada saya lembaran tulisan dari sebagian orang-orang yang tulus….

Di dalamnya ia menuturkan ungkapan tentang pokok-pokok dasar kajian syar’iy dan pentingnya mengetahui realita fatwa juga pentingnya pengamatan terhadap dalil-dalil syar’iy serta hal-hal lain seputar ini yang sudah diketahui oleh setiap orang yang menulis dan mengkaji dan tidak ada perselisihan di dalamnya, kemudian bahwa ia membedakan antara sekedar bunuh diri dengan bunuh diri oleh perbuatan orang itu sendiri dalam memerangi musuh, dan ia membolehkan yang ke dua seraya berdalil dengan nash-nash yang umum lagi dhanniy dilalah dalam menghantam nash-nash qath’iyyah yang mengharamkan membunuh jiwa secara muthlaq… Kemudian ia menuturkan firman Allah ta’ala:

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka” (Al-Baqarah: 191) dan firman-Nya ta’ala: “Dan perangilah mereka itu hanya semata-mata untuk Allah…” (Al-Baqarah: 193) dan firman-Nya ta’ala: “Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu…” (At-Taubah: 123)…
Ia berkata: “Sesungguhnya itu adalah dalil-dalil umum tanpa pengkhususan yang muthlaq tanpa pembatasan”… kemudian berkata: “Dan atas dasar ini, maka setiap peperangan terhadap musuh yang kafir yang memang memerangi, (boleh,ed.) dengan cara apa saja dari cara-cara qital, walaupun itu dengan meledakkan diri sendiri untuk membunuh mereka, maka semua itu berada dalam cakupan indikasi dalail-dalil yang lalu ” (selesai)

Kemudian ia menuturkan bahwa: “Sunnah Rasulullah saw dan para sahabatnya menjelaskan bagaimana kaum muslimin melesat maju untuk memerangi musuh dan mereka berlomba-lomba untuk menggapai syahadah sampai bahwa sebagian mereka melesat maju di tengah barisan musuh atau dilemparkan dari atas tembok benteng. Ini sangat terkenal lagi masyhur di banyak tempat yang tidak butuh untuk dijelaskan lagi” (selesai)

Maka saya katakan: “Adapun ucapannya yang terakhir seputar maju melesat dalam memerangi musuh dan berlomba-lomba untuk meraih syahadah, maka ini sudah kami ketengahkan kepada anda dan tidak ada perselisihan di dalamnya dan ia adalah memperbanyak ucapan dengan sesuatu yang di luar masalah yang sedang diperbincangkan, sedangkan telah kami utarakan bahwa tidak apa-apa dalam hal itu, akan tetapi yang jadi masalah adalah pada sikap orang muslim membunuh dirinya sendiri dengan tangannya sendiri bukan dengan tangan musuhnya”.[13]

Adapun dia menjadikan bunuh diri sebagai salah satu cara dari sekian cara qital, maka ia adalah pendapat yang tidak pernah dikatakan sebelumnya oleh seorangpun dari ulama yang mu’tabar. Kami pernah bertanya kepada orang-orang yang menyelisihi dalam hal ini, kami katakan: “Seorang kafir muharib yang bisa dibunuh dengan pistol atau senjata serupa itu, apakah boleh meledakkan diri untuk membunuhnya?” Maka orang-orang bodoh di antara mereka menjawab dengan penuh pengototan:

“Ya, hal itu boleh” Namun, kami tidak menoleh kepada mereka, karena mereka pailit dari dalil. Orang-orang yang berakal di antara mereka menjawab: “Tentu tidak boleh, karena ia masih bisa dibunuh tanpa bunuh diri…” Maka apa alasan yang membolehkan untuk membunuh diri…??
Kami katakan: Jadi masalahnya haruslah ada batasan dan tentunya termasuk sikap serampangan menjadikan cara ini seperti cara lain dari cara-cara qital lalu membuka pintunya lebar-lebar tanpa batasan-batasan syar’iy dan terutama sesungguhnya dalil-dali syar’iy yang dhanniy dilalah-nya yang ia utarakan itu tidak mendukung mereka dalam menetapkan pendapat mereka itu.

Di mana istidlal mereka dengan nash-nash qital yang umum dalam masalah khusus tertentu adalah amat sangat lemah, karena indikasi nash yang umum terhadap suatu individu dari individu-individunya secara indikasi khusus tanpa qarinah adalah dilalah dhaniyyah (indikasi yang tidak pasti) sebagaimana yang dinyatakan oleh ulama ushul…

Sudah ma’lum pula bahwa jihad fie sabilillah itu adalah ibadah, bahkan ia tergolong ibadah yang paling agung… Sedangkan sudah ma’lum bahwa (hukum asal pada ibadah adalah terlarang sampai datang dalil shahih yang mensyari’atkannya). Berdasarkan firman Allah ta’ala:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Al-Isra: 36)

Juga berdasarkan sabda Nabi saw: “Barang siapa mengadakan dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia ditolak”[14]

Maka orang yang menjadikan bunuh diri dalam jihad sebagai sesuatu yang disyari’atkan secara muthlaq seperti layaknya cara-cara jihad yang lainnya, ia membutuhkan kepada dalil sharih shahih yang mensyari’atkan hal itu.

Sedangkan ayat-ayat yang umum perihal memerangi orang-orang kafir itu bukanlah dalil-dalil yang sharih dan dhahir dalam indikasinya terhadap apa yang dimaksud, akan tetapi ia adalah seperti istidlal sebagian kaum sufi yang bodoh untuk ajaran sima’ (senandung nyanyian) yang bid’ah, yang di dalamya mereka mengingat Allah dengan tarian, rebana dan nyanyian dengan keumuman firman Allah ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, (dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya” (Al-Ahzab: 41) dan dengan keumuman firman-Nya ta’ala: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kamu beruntung” (Al-Anfal: 45)

Sedangkan Allah ta’ala telah berfirman:

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya” (Ali ‘Imran: 7)

Allah ta’ala mencela orang yang mengikuti sesuatu yang mutasyabih dan malah meninggalkan yang muhkam…

Kemudian Dia swt berfirman:

“Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:”Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami” (Ali ‘Imran: 7)

Allah memuji orang yang mengembalikan sesuatu yang mutasyabih lagi musykil pada yang muhkam untuk mengetahui maksud Allah darinya dan Dia mensifatinya sebagai metode orang-orang yang mendalam ilmunya…Semoga Allah menjadikan kita bagian darinya.

Sedangkan yang muhkam dari ayat-ayat qital itu adalah orang muslim membunuh musuhnya atau ia terbunuh oleh tangan musuhnya setelah ia menghadang dan melawan.

Adapun orang muslim membunuh dirinya sendiri ~sebagai cara qital~, maka ia termasuk sesuatu yang mutasyabih yang wajib memiliki dalil syar’iy sharih (yang khusus) sehingga ia dikecualikan dari keumuman nash-nash yang melarang dari bunuh diri, ini yang pertama. Kemudian dalil sharih yang lain yang menjadikannya sebagai wasilah (cara) yang syar’iy dari cara-cara qital…

Sedangkan Allah ta’ala telah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan qishash atas kamu, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…” sampai firman-Nya ta’ala: “Barang siapa melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih” (Al-Baqarah: 178)

Allah swt menamakan pembunuhan jiwa yang terjaga (ma’shum) siapa saja tanpa alas an yang benar sebagai “sikap melampaui batas/ aniaya” dengan nash Al-Qur’an. Dan Dia ta’ala berfirman prihal memerangi orang-orang kafir: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (Al-Baqarah: 190)

Meskipun ayat ini dinyatakan telah dinasakh dengan ‘ayat pedang’, maka penasakhan yang dimaksud oleh orang yang mengatakannya adalah (pelarangan memerangi orang-orang kafir yang tidak mengganggu) di mana memerangi kaum musyrikin itu menjadi menyeluruh, baik itu mereka yang mengganggu maupun yang tidak. Adapun indikasi lain yang ada pada ayat itu, maka tidak seorang ulamapun mengatakan bahwa ia di-nasakh, oleh sebab itu Ibnu ‘Abbas radliallahu’anhu berdalil dengan firman-Nya ta’ala ;

“Dan janganlah kamu melampaui batas”. Ia berkata: “Janganlah kamu membunuh wanita dan anak-anak…”

Kami dapat mengatakan bahwa Allah ta’ala mengecualikan dari memerangi orang-orang kafir segala yang dinamakan melampaui batas dalam pembunuhan dan qital, di mana Dia me-nasakh dari hal itu apa yang telah lalu, dan semua macam lain dari sikap melampaui batas masih tetap tercela dan terlarang dan di antaranya adalah apa yang telah nyata jelas dalam ayat yang lalu berupa membunuh jiwa muslim yang terjaga, sungguh Allah telah mensifatinya dengan melampaui batas:

“Barang siapa siapa melampaui batas…”

Maka jelaslah sikap bunuh diri itu tidaklah bisa menjadi manhaj atau metode atau cara dari sekian cara-cara qital, kecuali karena dlarurat sebagaimana yang telah kami utarakan, karena dlarurat itu memperbolehkan apa-apa yang terlarang…

Sebagian mereka berhujjah dengan perbuata si ghulam pada kisah Ashhabul Ukhdud serta bantahannya…

Kemudian saya mendengar sebagian mereka berhujjah untuk kebolehan bunuh diri secara muthlaq dalam ‘amaliyyat semacam ini tanpa batasan atau syarat dengan perbuatan si ghulam pada kisah Ashhabul Ukhdud. Seluruh khabar (kisah, ed.) ini ada dalam Shahih Muslim.

Sedangkan jawaban terhadap hal itu adalah dari beberapa sisi:

Pertama: Bahwa hal itu termasuk syari’at orang-orang sebelum kita, bukan syari’at kita, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman: “Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (Al-Maidah: 48). Jadi apa yang ada dalam khabar ini, bila ia selaras dengan syari’at kita, berupa da’wah kepada Tauhid dan sabar di atasnya atau faidah-faidah yang karenanya Allah menceritakan kisah itu kepada kita, maka kita menerimanya dan bila tidak seperti itu (atau, ed) bahkan dari syari’at kita ada yang menyelisihinya, maka ia bukan syari’at bagi kita. Seperti mempelajari sihir, maka itu diharamkan dalam syari’at kita, begitu juga membunuh diri sendiri, sungguh telah disyari’atkan bagi orang-orang sebelum kita untuk membunuh diri mereka sendiri, umpamanya sebagai bentuk taubat, seperti firman Allah swt tentang Bani Israil: “…Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu” (Al-Baqarah: 54). Bila si ghulam ini telah membunuh dirinya sendiri ~sedangkan kami tidak menerima hal ini, sebagaimana yang akan datang (penjelasannya, ed.)~, maka ia termasuk syari’at sebelum kita yang telah di-nasakh, karena ia menyelisihi syari’at kita, sedangkan ulama ushul telah menetapkan bahwa bila syari’at sebelum kita menyelisihi syari’at kita, maka ia bukan syari’at bagi kita.

Kedua: Bahwa di dalam hadits ini ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih, maka yang muhkam diamalkan dan yang mutasyabih dikembalikan kepada syari’at Allah yang muhkam, karena di dalam urusan si ghulam ini terdapat suatu isykal dan mawani’ yang menghalangi dari qiyas dan ber-istidlal dengannya:

Ia (si ghulam) itu dapat menyembuhkan orang yang buta sejak dilahirkan dan orang yang berpenyakit sopak serta dapat mengobati manusia dari berbagai jenis penyakit dengan sekedar berdo’a kepada Allah ta’ala, dan Allah tidak menelantarkan dia sedikitpun dalam hal itu, sedangkan hal ini lebih dekat pada mu’jizat para Nabi daripada karomah para wali, karena dia melakukannya kapan saja dia mau. Kasus (kisah) dia bersama pembantu raja yang buta menunjukkan terhadap hal itu…

Begitu pula pemastian si ghulam dengan ucapannya kepada si raja: “Sesungguhnya kamu tidak bisa membunuh saya sampai (kamu) melakukan apa yang diperintahkan kepadamu”. Sungguh ini adalah hal ghaib yang tidak bisa dipastikan dan tidak bisa diketahui oleh manusia, kecuali oleh para Nabi, karena Allah ta’ala berfirman: “Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun hal yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang dikehendaki-Nya” (Al-Jinn: 26-27)

Hal itu memang terjadi sebagaimana yang dikabarkan oleh si ghulam, di mana si raja tidak mampu membunuhnya, kecuali dengan cara yang ia tunjukkan kepadanya.

Bisa jadi si ghulam adalah nabi dan apa yang ia lakukan adalah wahyu dan perintah dari Allah ta’ala sebagaimana yang dikatakan Khidlr tentang sikapnya membunuh anak kecil: “..dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri” (Al-Kahfi: 82). Karenanya tidak boleh melakukannya, kecuali dengan perintah dan wahyu khusus yang tegas dari Allah, atau itu adalah perintah yang tidak bisa diqiyaskan terhadapnya, seperti firman Allah ta’ala kepada ibu Musa: (Thaha: 7). Maka jumhur ulama mengatakan bahwa ia adalah ilham dan bukan wahyu kenabian, sedangkan sudah ma’lum bagi setiap orang alim dan orang jahil bahwa tidak sah mencontoh hal itu dan berdalil dengannya terhadap kebolehan menjatuhkan anak ke laut bila mereka dikhawatirkan dari kezhaliman orang yang zhalim atau serangan orang yang menyerang.

Terhadap sisi mana saja, tetaplah tidak sah pen-qiyas-an terhadap perbuatan si ghulam ini dalam penunjukannya kepada si raja terhadap cara yang dengannya ia bisa membunuh si ghulam.
Ke tiga: Dikatakan bahwa perbuatan si ghulam ini mendatangkan mashlahat yang besar karena dengan sebab perbuatannya itu semua manusia yang menghadiri kejadian tersebut menjadi beriman.
Bila pertama-tama kami menerima bahwa perbuatannya ini adalah bunuh diri dan ke dua kami membolehkan pen-qiyas-an terhadapnya dan istidlal dengannya, maka menurut orang yang menimbang dengan timbangan lurus wajib membatasinya dengan mashlahat dlaruriyyah ‘ammah ‘azhimah (mashlahat pokok yang menyeluruh lagi besar) seperti ini dan tidak boleh pintunya dibuka lebar-lebar dan dijadikan –sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang yang menyelisihi- sebagai suatu cara seperti halnya cara-cara qital yang lain dan tidak ada perbedaan.

Dan kami telah menuturkan kepada engkau sebelumnya bahwa orang-orang yang membolehkan masalah Tatarrus, mereka telah membatasinya dengan syarat bahwa mashlahatnya mesti dlaruriyyah kulliyyah qath’iyyah.

Ke empat: Bahwa kami tidak menerima -sebagaimana yang disyaratkan oleh kami sebelumnya- bahwa si ghulam itu membunuh dirinya sendiri oleh tangannya sendiri, akan tetapi sebenarnya yang membunuhnya adalah si raja itu dengan tangannya sendiri.

Bila mereka mengatakan: “Si ghulam telah menunjukan caranya…”
Maka kami katakan: Ini bukan masalah yang kita perselisihkan, akan tetapi yang kita perselisihkan adalah seseorang membunuh dirinya dengan tangannya sendiri, bukan dibunuh oleh tangan musuhnya.
Bila kalian ingin meng-qiyas-kan terhadap khabar ini atau berdalil dengannya, maka berhentilah pada batas-batasnya dan jangan kalian melampauinya serta jangan berlaku curang. Qiyas-kanlah terhadap gambarannya secara persis dan bolehkanlah seseorang menunjukkan musuhnya terhadap cara yang dengannya dia membunuhnya untuk merealisasikan dengan hal itu mashlahat kuliyyah qath’iyyah dlaruriyyah, bukan dengan dia membunuh dirinya dengan tangannya sendiri.

Ini andai boleh qiyas terhadapnya dan ber-istidlal dengannya dalam bab ini, sedangkan engkau telah mengetahui dari sisi-sisi yang telah lalu bahwa selain itu adalah penyimpangan.

Ini adalah yang mesti disertakan terhadap masalah ini. Saya memohon kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa agar Dia mengilhamkan kelurusan kepada kita dan mengarahkan ucapan dan amalan kita pada kebenaran.

Segala puji hanya bagi Allah di awal dan di akhir.
Dari Risalah Husnur Rifaaqah (Risalah Ke Tujuh)

Syaikh Al Mujahid Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidzahullah
Alih Bahasa:

Al Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

[1] Sebagaimana kami tidak memastikan bagi mereka dan bagi yang lainnya setelah terputusnya wahyu dengan pemestian surga atau kesyahidan. Silahkan dalam hal ini rujuk Shahih Al-Bukhari (Bab Laa yuqalu fulan syahid) akan tetapi kami memohon kepada Allah agar menyampaikan mereka pada kedudukan syuhada. Ini tidak bertentangan dengan perlakuan terhadap orang yang gugur di medan perang (jihad,ed.) dengan perlakuan sebagai syahid, di mana ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan ia dikuburkan dengan pakaiannya karena hukum-hukum dunia diambil dengan dugaan kuat.
[2] H.R. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
[3] Penyandaran kepada Nicholash Machiavelli, penulis kitab Al-Amir dan di antara kaidahnya yang paling masyhur yang ia tetapkan bagi para penguasa dalam rangka mengokohkan kekuasaan mereka (tujuan itu melegalkan sega macam cara)
[4] Saya telah merujuk atsar ini, maka saya telah mendapatkannya ada pada Tarikh Ath-Thabariy 3/290, 294 dari Muhammad Ibnu Ishhaq dan dalam Bidayah Wan Nihayah 6/268, 325 dalam kisah terbunuhnya Musailamah Al-Kadzdzab. Adapun secara musnad, maka saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab As-Sunnah yang ada di penjara –dan memang ia sulit didapatkan di sini-, akan tetapi saya mendapatkannya dalam Sunan Al-Baihaqiy dalam Kitab As-Sair 9/44 di mana ia meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad Ibnu Sirin: “Bahwa kaum muslimin tiba di benteng yang pintunya terkunci, sedang di dalamnya ada pasukan musyrikin, maka Al-Bara Ibnu Malik duduk di atas perisai, lalu ia berkata “Angkatlah saya dengan tombak-tombak kalian, kemudian lemparkan saya ke tengah mereka”, maka mereka mengangkatnya dan melemparkannya ke tengah mereka dari balik benteng, kemudian mereka (kaum muslimin) mendapatkannya telah membunuh sepuluh orang dari mereka (kaum musyrikin).
[5] Perhatikanlah bahwa masalah dalam kasus ini adalah terbangun di atasnya mashlahat yang besar, yaitu pembukaan benteng yang dirasakan sulit untuk kaum muslimin dan bukan sekedar membunuh beberapa orang kafir yang bisa dibunuh dengan banyak cara. Namun demikian Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm 4/168 ; Ats-Tsaqafiy telah mengabari kami dari Humaid dari Musa ibnu Anas dari Anas ibnu Malik bahwa Umar ibnul Khaththab radliallahu’anhu. Bertanya kepadanya: “Bila kalian mengepung suatu kota, bagaimana kalian bertindak ?”Ia berkata:“Kami mengutus seseorang ke kota itu dan kami membuatkan baginya Hannah dari kulit”Umar bertanya: “Bagaimana kalau ia dilempari dengan batu ?”Ia berkata: “Ya terbunuh tentunya” Umar berkata: “Jangan kalian lakukan itu, karena demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, saya tidak bahagia, bila kalian membuka suatu kota yang di dalamnya ada 4000 tentara dengan mengorbankan seorang muslim.” Selesai.
[6] Ini berkaitan dengan orang yang tidak pandai berenang
[7] Yaitu mereka menjadikannya sebagai perisai dan tameng yang dengannya mereka membentengi diri dari panah dan tombak kita. Dan gambarannya adalah sama, di mana membunuh jiwa yang ma’shum adalah diharamkan, meskipun ia adalah jiwa orang muslim itu sendiri atau jiwa saudaranya.
[8] Shahih Muslim dengan Syarah An-Nawawi 17/190
[9] Dari Fathul Bari Kitab Al-Jihad (Bab Ahli Ad-Daar Yubayyatun Fa Yushaabu Al-Wildan Wadz-Dzarariy)
[10] Ikrimah adalah seorang tabi’in dan bukan sahabat, jadi hadits ini mursal.
[11] Perlu diperhatikan bahwa muqatil dalam istilah fuqaha adalah lebih khusus dan lebih tepat dari (muharib), karena seluruh orang kafir di darul harbiy adalah kafir harbiy, akan tetapi tidak semua berstatus muqatil . Ucapan kami dalam lembaran-lembaran ini sebagaimana yang engkau lihat bukan khusus prihal Yahudi, akan tetapi ia umum mencakup seluruh musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla.
[12] Kritikan-kritikan kami terhadapanya dengan gambaran tersebut adalah suatu hal, sedangkan kebatilan dan kerusakan amalan adalah hal lain. Ketidakbolehan atau pengharaman adalah hukum taklifiy, sedangkan kebatilan dan kerusakan adalah hukum wadl’iy dan sudah diketahui perbedaan antara keduanya di kalangan ulama ushul fiqh, sedangkan tidak setiap larangan menuntut kerusakan dan kebatilan.
[13] Silahkan rujuk Shahih Muslim Perang Khaibar> Kisah pembunuhan ‘Amir ibnul Akwa’ terhadap dirinya sendiri. Pedang yang ia miliki pendek, lalu ia mengayunkannya ke betis orang Yahudi untuk menebasnya, namun pedangnya terpental, sehingga mengenai lutunya sampai akhirnya ia meninggal dengan sebab itu…
Dalam hadits itu ada ucapan Salamah: “Mereka mengklaim bahwa ‘Amir terhapus amalnnya” dan dalam satu riwayat: “Mereka mengatakan: “Batal amalan ‘Amir, ia telah membunuh dirinya sendiri””Dalam riwayat lain Salamah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang takut untuk menshalatkan dia, mereka mengatakan “Orang yang mati dengan senjatanya sendiri””Maka Rasulullah saw bersabda: “Salah, orang yang mengatakan itu, sesungguhnya dia mendapatkan dua pahala”
Perhatikanlah rasa ngeri para sahabat dari hal ini, rasa takut mereka dari mendo’akannya dan kekhawatiran mereka dari keterhapusan amalannya, karena ia membunuh dirinya sendiri dengan tanpa sengaja..!! Maka bagaimana dengan orang yang membunuh dirinya sendiri dengan sengaja?? Dari itu engkau mengetahui bahwa masalahnya tidak enteng dan tidak cukup di dalamnya ucapan yang hanya sekedar bermodal semangat dan perasaan, namun harus dengan ucapan ‘ilmiyyah yang kokoh.
[14] HR. Muslim dalam Shahihnya dari Ummul Mu’minin Aisyah radliallahu’anhu no. 1718
Oleh:
Syaikh Al Mujahid Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidzahullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar